PERLINDUNGAN TERHADAP KERUSAKAN
BENDA CAGAR BUDAYA DI KABUPATEN ASAHAN
Oleh: Ramlan1
Abstrak
Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting, artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan bagi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, dan pengawasan benda cagar budaya. Di Indonesia upaya perlindungan benda cagar budaya telah dimulai sejak Zaman Belanda. Belanda telah menaruh perhatian besar terhadap pelestarian benda cagar budaya kita. Tahun 1778, sekelompok cendekiawan Belanda mendidirikan Batavia Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang menjadi cikal bakal berdirinya Museum Nasional di Jakarta. Tahun 1901 didirikan komisi yang bergerak dibidang perlindungan benda cagar budaya di Jawa dan Madura. Tahun 1913 didirikan Oudheldkundlge Dlents (DO) yang kemudian menjadi Dinas Purbakala. Disusul kemudian Belanda mengeluarkan Undang-undang perlindungan benda cagar budaya yang disebut Monumenten Ordonantie (MO) Stbl. 238 Tahun 1913. MO tersebut berlaku hingga Indonesia merdeka, kemudian diganti dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1992. Namun sangat disayangkan sampai saat ini Pemerintah, khususnya pemerintah Kabupaten Asahan tidak mengatur tentang perlindungan terhadap benda cagar budaya (benda bersejarah) tersebut, bahkan Undang-Undang Benda Cagar Budaya dan PP No. 10 Tahun 1993 belum terinventarisasi.
Kata kunci: Perlindungan, Kerusakan, Benda Cagar Budaya
Pendahuluan
Pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat, secara implisit diyakini oleh bangsa Indonesia; alam semesta dengan segala isinya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Negara dibentuk dengan tujuan “…melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia…”
Untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup,2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Nomor 3215) yang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal 3 Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (yang selanjutnya disingkat dengan UUPLH), menyebutkan:
"Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggungjawab negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa".
Salah satu bentuk pengelolaan lingkungan hidup adalah perlindungan terhadap benda cagar budaya yang tertuang dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuan Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat dengan UULH), menyebutkan; “Ketentuan tentang perlindungan cagar budaya ditetapkan dengan undang-undang”.3
Benda cagar budaya4 merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting, artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, dan pengawasan benda cagar budaya.
Di Indonesia upaya perlindungan benda cagar budaya telah dimulai sejak Zaman Belanda. Terlepas dari sisi negatif zaman Penjajahan Belanda yang telah banyak benda cagar budaya (BCB) Indonesia dibawa kenegerinya. Belanda telah menaruh perhatian besar terhadap pelestarian BCB kita. Tahun 1778, sekelompok cendekiawan Belanda mendidirkan Batavia Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang menjadi cikal bakal berdirinya Museum Nasional di Jakarta. Tahun 1901 didirikan komisi yang bergerak dibidang perlindungan benda cagar budaya di Jawa dan Madura. Tahun 1913 didirikan Oudheldkundlge Dlents (DO) yang kemudian menjadi Dinas Purbakala. Disusul kemudian Belanda mengeluarkan Undang-undang perlindungan BCB yang disebut Monumenten Ordonantie (MO) Stbl. 238 Tahun 1913. MO tersebut berlaku hingga Indonesia merdeka, kemudian diganti dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1992.5
Nunus Supardi sebagaimana dikutip Ikhwaluddin Simatupang mengatakan asset budaya dalam bentuk benda cagar budaya sebagai karya manusia masa lalu merupakan kekayaan dan sumber daya budaya (cultural resources). Aset budaya ini memiliki potensi penting bagi kehidupan manusia masa kini dan masa akan datang. Potensi tersebut tidak hanya dilihat dari segi wujud bendanya saja tetapi juga tentang nilai (value) yang terkandung dibalik benda itu.6
Supardi selanjutnya mengemukakan setiap kita membicarakan kebudayaan termasuk benda cagar budaya sesungguhnya dihadapkan pada tiga dimensi waktu, yaitu waktu kemarin, kini dan esok. Budaya “kemarin”, atau masa lalu berarti budaya yang dihasilkan sejak manusia (pertama) melakukan aktivitas budayanya. Budaya “kini” yakni budaya yang kini sedang berproses. Budaya “esok” ialah budaya yang masih dalam rancangan yang sedang kita sonsong wujudnya. Ketiga dimensi waktu itu saling kait mengait, kebudayaan waktu kini pada hakikatnya adalah bagian dari kebudayaan waktu kemarin. Kemarin dan kini, diharapkan menjadi bagian dari kebudayaan waktu esok. Apabila sekarang berbicara tentang pelestarian aset budaya kemarin, sesungguhnya berbicara juga tentang masa depan budaya kemarin itu sendiri (a future of the past).7
Tjandrasasmita sebagaimana dikutip Suryanelli membagi peninggalan sejarah dan kepurbakalaan menurut:
Zamannya, terbagi dalam:
Peninggalan zaman prasejarah.
Peninggalan zaman pengaruh Islam.
Peninggalan zaman pengaruh barat.
Macamnya, terbagi dalam:
Benda-benda bergerak.
Benda-benda tidak bergerak. Misalnya; arca, ukiran, alat-alat rumah tangga, alat-alat upacara, naskah, gedung, rumah, bekas settlement, benteng dan lain-lain.
Bahannya, terbagi dalam batu, tulang, logam, kertas, kulit, dan lain-lain.
Fungsinya, terbagi ke dalam candi, kuil, klenteng, gereja, keraton, pura, mesjid, pundek, berundak, alat perhiasan, alat atau benda upacara keagamaan lainnya.8
Nunus Supardi mengemukakan kegiatan pelestarian sering diartikan sebagai kegiatan yang statis, yaitu menjaga agar kebudayaan tetap, tidak mengalami perubahan dari keadaan semula. Hal demikian tentu tidak mungkin, karena tidak sejalan dengan hakekat kebudayaan yang bersifat dinamis, berkembang sesuai dengan tingkat kemajuan masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu kebijakan pelestarian perlu diarahkan pada pengertian dinamis, yang dalam hal ini diarahkan pada upaya perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan asset budaya. Aset atau warisan budaya masa lalu dalam bentuk benda, ada yang perlu dilestarikan dan ada yang tidak masuk dalam kategori dilestarikan. Suatu benda budaya masuk ke dalam kategori dilindungi karena benda tersebut mempunyai peranan penting bagi pemupukan kebanggaan nasional dan pengukuhan jati diri suatu bangsa serta bagi kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Benda-benda hasil budaya yang mempunyai arti dan makna penting dan dinyatakan sebagai benda cagar budaya yang dilindungi oleh undang-undang.9
Sebagian besar benda cagar budaya suatu bangsa adalah hasil ciptan bangsa itu pada masa lalu yang dapat menjadi sumber kebanggaan bangsa yang bersangkutan. Upaya melestarikan benda cagar budaya dilaksanakan, selain untuk memupuk rasa kebanggaan nasional dan memperkokoh jati diri sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila, juga kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta pemanfaatan lain dalam rangka kepentingan nasional.
UUBCB dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993 (selanjutnya dalam tulisan ini disebut PP No. 10 Tahun 1993) . Penjelasan umum PP No. 10 Tahun 1993 menyatakan PP No. 10 Tahun 1993 disusun untuk memberi penjabaran, kejelasan, dan pedoman mengenai pengaturan, penguasaan, pemilikan, pendaftaran, pengalihan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pembinaan, dan pengawasan serta hal-hal yang berkenaan dengan upaya pelestarian benda cagar budaya.
Berkenaan dengan hal-hal di atas, selain mengatur upaya-upaya perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya, PP No. 10 Tahun 1993 juga memberikan arah dalam tata cara/syarat pemilikan, penguasaan, dan upaya membawa benda cagar budaya keluar wilayah Republik Indonesia.
Perlindungan benda cagar budaya harus menjadi perhatian penting dan dicermati, karena akibat perkembangan zaman serta semakin semaraknya pembangunan di Kabupaten Asahan, maka kecendrungan merusak atau menghilangkan bangunan-bangunan lama yang merupakan saksi sejarah dan bukti otentik sejarah dapat saja terjadi. Padahal musnahnya suatu bangunan tua dan bersejarah dapat berakibat hilangnya satu rangkaian sejarah perjalanan suatu kota.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dirasa menarik untuk melakukan penelitian tentang perlindungan terhadap kerusakan benda cagar budaya di Kabupaten Asahan dengan rumusan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana keadaan benda-benda cagar budaya di Kabupaten Asahan
Bagaimana peraturan daerah yang mengatur tentang perlindungan benda cagar budaya di Kabupaten Asahan.
Bagaimana masalah dan hambatan perlindungan benda cagar budaya di Kabupaten Asahan.
Sesuai dengan rumusan permasalahan yang diajukan, maka penelitian ini bertujuan:
Untuk mengetahui keadaan benda-benda cagar budaya di Kabupaten Asahan.
Untuk mengetahui peraturan daerah yang mengatur tentang perlindungan benda cagar budaya di Kabupaten Asahan.
Untuk mengetahui masalah dan hambatan dalam melindungi benda cagar budaya di Kabupaten Asahan.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif karena dalam penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan fakta dan keberadaan tanggungjawab Pemerintah Kabupaten Asahan terhadap kerusakan dan kemusnahan benda cagar budaya, sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan. Bersifat analitis, karena terhadap data yang diperoleh itu akan dilakukan analitis data secara kualitatif.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis sosiologis dipergunakan untuk mengkaji peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan, khususnya perlindungan terhadap kerusakan dan kemusnahan benda cagar budaya, seperti Undang-undang Nomor 5 tahun 1992, serta masalah-masalah atau hambatan-hambatan terhadap perlindungan benda cagar budaya di Kabupaten Asahan.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Asahan, yang berbatasan dengan daerah Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Labuhan Batu, dan Toba Samosir, Kabupaten Simalungun, serta Selat Malaka, dengan jumlah penduduk 943.886 jiwa, yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, seperti suku Jawa sebesar 52,40%, suku Batak sebesar 25,58%, suku Melayu sebesar 16,73%, sedangkan sisanya 5, 29% adalah suku Minang, Banjar, Aceh dan sebagainya. Dengan beranekaragamnya suku ini, maka beranekaragam pula kebiasaan adat istiadat yang dapat ditemui di Kabupaten Asahan.
Alat pengumpul data yang digunakan adalah metode studi dokumen dan metode wawancara. Metode studi dokumen diperlukan untuk mendapatkan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Metode wawancara diperlukan untuk memperoleh data primer dari informan yang ditentukan secara purposive, dengan pertimbangan bahwa orang tersebut mempunyai kewenangan pengetahuan, pengalaman dan keturunan langsung pada tokoh yang akan diteliti serta dianggap dapat memberikan data atau informasi mengenai permasalahan yang dibahas. Data primer sumbernya diperoleh dari salah seorang pejabat pada kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Asahan.
Data yang telah diperoleh, untuk selanjutnya diseleksi dan klasifikasikan serta disusun dalam suatu tabulasi sesuai dengan kelompok pembahasan yang telah direncanakan, kemudian dianalisis dengan analisis kualitatif, sedangkan kesimpulan dalam penelitian ini ditarik dengan menggunakan metode deduktif.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Benda-benda cagar budaya di Kabupaten Asahan.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbentuk dari berbagai suku, ras, bahasa, budaya dan agama, yang mendiami ribuan pulau besar dan kecil, serta tersebar luas di kawasan yang disebut Nusantara. Begitu juga dengan masyarakat Kabupaten Asahan, banyak suku yang berdiam di Kabupaten Asahan memberikan corak kebudayaan yag ada, dan selanjutnya berdampak kepada beragamnya nilai-nilai budaya yang dikenal. Keanekaragaman nilai-nilai budaya tentunya sangat menguntungkan, dan sangat diyakini tidak satupun kebudayaan yang ada dapat menghambat kemajuan, bahkan hidupnya nilai-nilai budaya tersebut dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan.
Menurut Musthofal Akhyar,10 Kepala Seksi Pengembangan Bahasa dan Seni Budaya Subdis Kebudayaan P dan K Kabupaten Asahan, bahwa keanekaragaman nilai-nilai budaya tersebut adalah sebagai berikut:
Suku, terdiri dari suku Jawa, Batak, Minang, Melayu, Banjar, Aceh dan lain-lain.
Seni, terdiri dari kuda lumping, pencak silat, tari gubang, nyanyian sinandung, dabus, hardah, dan lain-lain.
Makanan, terdiri dari rendang kepah, sombam ikan cincarou, gulai asam/ lemak, pekasam, halua margat/buah-buahan, pongat, tengguli, tapai, lomang, talang, pelito daun, lempeng torak, kue karas-karas, renggenang, kue bunga, makanan cincin, dodol, dan lain-lain.
Pakaian adat, terdiri dari teluk balanga, tenun sungket batu bara, dan lain-lain.
Tata upacara adat, terdiri dari resek meresek, menikah, melanggang (tujuh bulanan), mencukur, penabalan nama, turun tanah, akikah, berkhitan (sekaligus hatam Qur’an), menotou tanah/ tepung tawar dan lain-lain.
Nilai-nilai kebudayaan lain yang dimiliki masyarakat Kabupaten Asahan secara khusus juga dapat dilihat dari situs11 benda cagar budayanya. Adapun yang terdapat di Kabupaten Asahan, menurut Musthofal Akhyar baru sebatas situs, itu pun belum memiliki penetapan yang jelas, walaupun berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUBCB, situs-situs itu sudah tergolong benda cagar budaya.
Situs-situs dimaksud berdasarkan wilayah kecamatan, yaitu:
Kecamatan Simpang Empat, terdiri dari tugu perjuangan front sipaku dan meriam kuno.
Kecamatan Pulau Rakyat, yaitu tugu perjuangan.
Kecamatan Air Joman, terdiri dari tugu perjuangan dan makam Tuan Syeikh Silau Laut.
Kecamatan Medang Deras, terdiri dari 9 (sembilan) buah meriam peninggalan Kerajaan Datuk Setia Wangsa dan makam keramat Datuk Semarang.
Kecamatan Air Putih, terdiri dari Istana Kerajaan Indrapura, 1 (satu) meriam peninggalan Kerajaan Indrapura, pintu gerbang Kerajaan Indrapura, makam Datuk Sutan Pahlawan dan tugu perjuangan.
Kecamatan Lima Puluh, terdiri dari makam Datuk Lima Puluh, Kubah Keramat Batu Bara, benteng perang peninggalan Jepang dan makam Datuk Bejo Anjung.
Kecamatan Talawi, terdiri dari 1 (satu) buah meriam keramat, SD Negeri jaman penjajahan Belanda, gedung bekas kantor Wedana Batu Bara, gedung bekas Asisten Residen Batu Bara, rumah tua, makam tua dan 4 (empat) buah meriam tua.
Kecamatan Tanjung Tiram, terdiri dari Istana Niat Lima Laras, 2 (dua) buah meriam Datuk M. Yuda, Kubah Batu, makam Datuk OK. Lelo, makam Datuk Bogak, 2 (dua) buah meriam Datuk Bogak, gedung Harisuddin, Tugu Juang Pangkalan III ALRI Tanjung Tiram dan makam Kubah Nenek Rukiah Bersusu 4 (empat).
Kecamatan Buntu Pane, terdiri dari Istana Raja Pane dan Batu Pelanggiran.
Berdasarkan hasil penelitian penulis di lapangan tidak semua situs tersebut ada. Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan situs-situs yag dikunjungi serta memaparkan situs-situs yang memiliki deskripsi singkat.
Makam Tuan Syeikh Silau Laut.12
Nama lengkap beliau adalah Syekh Haji Abdurrahman Urrahim bin Nakhoda Alang Batu Bara, dilahirkan di Kampung Rao Batu Bara (sekarang Desa Tanjung Mulia Kec. Tanjung Tiram) pada tahun 1858 M, dengan ayahnya bernama Nakhoda Alang bin Nakhoda Ismail, keturunan Tuk Angku Mudik tampang keturunan dari Datuk Batuah yang berasal dari daerah RAO (perbatasan Tapanuli Selatan dan Sumatera Barat), sedangkan ibunya Naerat yang berasal dari kampung Rantau Panjang (Kec. Pantai Labu kab. Deli Serdang). Abdurrahman adalah anak ketiga dari empat bersaudara, yaitu; Abbas, Siti Jenab, Abdurrahman dan Abdurrahim.
Pada usia 8 tahun Abdurrahman dimasukkan belajar agama mengaji pada salah seorang guru di Kampung Lalang Batu Bara. Dan pada usia 15 tahun ia sering mengasingkan diri dari orang tuanya untuk berkhalwat dengan melakukan zikir mengingat Allah, dan pada usia 17 tahun ia merantau ke Minangkabau tepatnya daerah Bukit Tinggi dan berguru kepada seorang ulama bernama Syeikh Jambek untuk mempelajari ilmu-ilmu fiqh, tauhid dan tasauf. Ia juga belajar ilmu bela diri (silat) kepada Tuk Angku Dilintau.
Setelah kembali kekampung halamannya, kemudian ia bersama pakciknya yang bergelar Panglima Putih, merantau ke Negeri Fathany (Thailand), dan belajar agama Islam kepada Syeikh Wan Mustafa, selain itu ia juga belajar ilmu ketabiban. Ketika di Fathany ia diundang ke Negeri Kedah (Malaysia), sebab Sultan Kedah ingin melihat kemahirannya dalam ilmu bela diri. Sesampainya disana Abdurrahman dipersilahkan untuk mengikuti perang tanding untuk memilih kepala Hulu Balang (Panglima Kesultanan Kedah), ia dihadapkan dengan Panglima Elang Panas yang berasal dari Siam, karena ia dapat memenangkan pertarungan maka ia ditawarkan dan diangkat menjadi Kepala Hulu Balang, dan menjabat selama 7 tahun berturut-turut dengan syarat setiap tahunnya diadakan perang tanding melawannya.
Dikarenakan cita-citanya ingin menjadi seorang ulama, maka ia kembali ke negeri asalnya Batu Bara, dan mulai melakukan dakwah Islam dengan mengisi kelompok pengajian yang ada di Batu Bara dan di daerah Serdang (Sekarang Deli Serdang). 5 (lima) tahun kemudian ia memperdalam ilmunya ke Mekkah Saudi Arabia. Disana ia selain memperdalam ilmu-ilmu syariat seperti fiqh, tafsir, hadits, kemudian ilmu tauhid dan tasauf kepada gurunya Syekh Daud Fathany dan beberapa guru di Masjidil Haram seperti Syekh Hasbullah, Syekh Ahmad Khatib Minang Kabau, dan lain-lain. Kemudian ia menyempurnakan ilmu tauhid dan tasaufnya dengan mengambil Tharikat Nabsabandiyah kepada Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Abi Qudis Mekkah (satu guru dengan Syekh Abdul Wahab Rokan Besilam Langkat), selain itu ia mengambil Tharikat Satariah kepada gurunya Syekh Daud Fathany, yang kemudian ia kembangkan kepada kerabat dan murid-muridnya. Ia juga menambah ilmu pengobatannya dari orang-orang Maghriby (Marokko) yang ada di Mekkah.
Setelah lebih 7 tahun lamanya memperdalam ilmu agama di Saudi Arabia, dengan mendapat gelah Syekh. Abdurrahman pulang ke tanah airnya Batu Bara dan kembali mengabdikan ilmunya. Mengingat sumber nafkah di Batu Bara tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, maka ia memutuskan untuk pindah dari kampung Rao Batu Bara ke Kampung Sikosat Mati Tinjowan (Kec. Bosar Maligas Simalungun) dengan maksud untuk membuka lahan baru untuk bercocok tanam. Namun lahan disitu tidak subur dan kurang luas, maka pada tahun 1901 M ia memohon kepada Sultan Asahan bernama Tengku Adil untuk diberi lahan, maka oleh Sultan ia diberi tanah Silau Laut. Pada tahun itu juga Abdurrahman beserta keluarga pindah dari Sikosat Mati Tinjowan ke Silo Bonto. Di daerah inilah ia membuka lahan pertanian dan membuka pengajian untuk kaum kerabat dan jemaah-jemaahnya. Untuk mengembangkan lahan pertaniannya, maka pada tanggal 8 September 1909 M ia beserta keluarga dan kerabatnya berpindah dari Silobonto ke Tungkat Mandah (sekarang bernama Lorong Tungkat Mandah Desa Silo Lama). Disinilah ia menetap untuk mengembangkan syiar agama Islam dan pengobatan, yang datang meminta pertolongan termasuk suku Cina, India, Pakistan, Jepang, dan Suku Batak, Jawa, Aceh, Padang, Bugis, Ambon, Banjar dari berbagai agama dan kepercayaan masing-masing.
Selain mengembangkan agama dan memberi pertolongan, Abdurrahman juga menciptakan keamanan dan ketertiban di kampung Silau Laut dengan berlandaskan jiwa ke Islaman. Pada tahun 1927 M ia mengeluarkan beberapa peraturan yang selanjutnya menjadi adat di Kampung Silau Laut. Adapun larangan-larangan itu adalah tiada (tidak boleh) mencuri, tiada berzina, tiada berjudi, tiada mabuk-mabukan (minuman keras) dan tiada berkelahi (menipu orang). Larangan-larangan itu disertai sanksi-sanksi:
Bagi yang melakukan zina kedua-duanya diusir dari kampung Silau Laut dan diwajibkan membayar 1 (satu) ekor kambing.
Bagi yang berjudi, mabuk-mabukan/minuman keras, mencuri dan berkelahi diberi peringatan keras dan diserahkan kepada pihak yang berwenang melalui ketua kampung untuk diadili/diberi hukuman.
Khusus bagi umat Islam yang ada di kampung Silau Laut demi tegaknya syiar Islam, bagi yang tidak melaksanakan shalat Juma’at 3 kali berturut-turut dikenakan sanksi yang sifatnya mendidik yaitu dipaksa membersihkan pekuburan yang ada di sana.
Selain itu untuk melestarikan hutan dan alam lingkungan serta satwa yang ada di dalam hutan Silau Laut, ia juga membuat peraturan kepada warga kampung Silau Laut agar tidak membuka hutan tertentu untuk dijadikan lahan pertanian. Hutan-hutan tersebut adalah hutan Lubuk Buluh Cina, hutan Langgadai Kuning, dan hutan Tambun Tulang.
Istana Kerajaan Indrapura.13
Bekas Istana Kerajaan Indrapura ini terletak di Desa Tanah Merah, Indrapura Kec. Air Putih, tepatnya dipinggir jalan Lintas Sumatera dekat titi sungai Indrapura, dan keberadaannya satu paket dengan 1 (satu) buah meriam peninggalan kerajaan serta pintu gerbang kerajaan Indrapura.
Kerajaan Indrapura atau yang lebih dikenal kerajaan Negeri Tanjung, berawal dari berangkatnya satu rombongan yang dipimpin Datuk Umar Pelangki, yang terdiri dari Datuk Mat Janggut dan isteri Kulo adik Datuk Umar Pelangki, kemudian Makbut dan isterinya Putih, serta Nachoda Indrajaya dan isterinya Saidah, meninggalkan kampung halamannya Minang Kabau (Pagaruyung). Kemudian mereka tiba di Muara Kuala Tanjung dan rombongan terus menuju hulu dan sampailah disebuah pematang yang luas dan menemukan pohon limau purut. Akhirnya mereka mufakat di pematang inilah mereka membangun perkampungan yang mereka namakan Kampung Negeri Limau Purut.
Setelah daerah ini ramai, maka sepakatlah mereka mengangkat Datuk Umar Pelangki menjadi Raja Kerajaan Negeri Tanjung Limau Purut yang pertama pada tahun 1750 M. Karena Datuk Umar Pelangki telah tua, diangkatlah Datuk Mat Janggut, adik iparnya (suami Kulo) menjadi pemangku Raja Datuk Maarus yang masih di bawah umur, namun setelah Datuk Maarus dewasa Datuk Mat Janggut tidak mau menyerahkan kerajaan, untuk menghindari perang saudara maka Datuk Umar Pelangki beserta keluarga meninggalkan Negeri Tanjung Limau Purut. Sehingga pada tahun 1784 diangkatlah Datuk Mat Janggut menjadi Raja Kerajaan Tanjung Limau Purut yang kedua.
Setelah Datuk Mat Janggut tua dan ujur, maka tahta akan diserahkan kepada anak-anaknya, namun anaknya tidak ada yang mau menjadi raja. Oleh Datuk Mat Janggut diserahkanlah tahta kepada adiknya yang bungsu, yaitu Datuk O.K. Momat dan Datuk O.K. Momat diangkat menjadi Raja yang ketiga pada tahun 1794.
Pada suatu hari datanglah seorang yang bernama Panglima Bakar bersama isterinya Cik Wan dan pengikutnya untuk tinggal dan membuka Kampung Tongah bersebrangan dengan kampung Limau Purut, mereka berasal dari Boga (Batu Bara), oleh O.K.Momat dibolehkan. Namun Panglima Bakar selalu mengutipi cukai kepada pedagang. O.K. Momat tidak senang sehingga terjadi peperangan. Panglima Bakar mati tertembak, kemudian isterinya Cik Wan minta bantuan kepada Sultan Asahan. Maka terjadilah perang antara Asahan dengan Tanjung Limau Purut. Datuk O.K. Momat mati di penggal oleh Panglima Pak Netek dari Asahan.
Kemudian raja kerajaan Tanjung Limau Purut digantikan oleh anaknya dari isteri pertama Incik Lombuk yaitu Datuk Ulung. Setelah Datuk Ulung menjadi raja, ia pergi menghadap Sultan Siak bersama O.K. Mairil dan O.K. Maddano, lalu Sultan Siak memberi gelar Datuk Ulung dengan Datuk Paduka Setia Raja untuk memerintah negeri Tanjung, sedangkan O.K. Mairil dijadikan Tungkat di Kampung Tengah dan O.K. Maddano dijadikan Tungkat di Kampung Air Putih. Sejak itulah Kerajaan Tanjung Limau Purut tunduk pada Sultan Siak.
Setelah Datuk Ulung meningggal dunia, kemudian digantikan oleh anaknya Datuk Sandeh gelar Datuk Indra Setia yang menjadi Raja kelima dan dinobatkan pada Tahun 1874, dan setelah Datuk Sandeh meninggal digantikan oleh anaknya yaitu Datuk Darus, namun ia tidak tahan karena mendapat intimidasi dari Belanda, maka setelah ia memerintah selama lebih kurang 4 tahun ia mengundurkan diri, dan oleh Belanda diangkatlah putranya Datuk Zainal Abidin menjadi Raja dipangku oleh Datuk Tobo.
Setelah Datuk Zainal Abidin dan Datuk Tobo meninggal dunia, oleh Belanda di tetapkanlah seseorang yang bekerja di Kantor Kontelir Labuhan Bilik yang kemudian juga menjadi guru bahasa Batak dan kemudian menjadi Jaksa di negeri Tanjung, yaitu Abdul Somad gelar Tengku Busu Putera dari Tengku Sutan Muda Sri Maharaja bangsawan dari Kampung Raja (Bilah) menjadi Pemangku Kerajaan Negeri Tanjung, kemudian dinobatkan menjadi Raja yang keenam pada tahun 1904, dan dinikahkan dengan Encik Bulan Putri dari O.K. Sandeh gelar Datuk Indra Setia.
Saat ini peninggalan Istana Negeri Tanjung atau yang dikenal dengan Istana Indra Pura dengan gaya arsitektur Melayu bercampur Minang, ditempati oleh ahli warisnya yaitu Tengku Anwar anak Abdul Somat Gelar Tengku Busu dari isterinya yang ketiga Incik Dewi.
Benteng Perang Peninggalan Jepang.
Benteng ini terletak di Desa Perupuk Kec. Lima Puluh, tepatnya dipintu masuk desa tersebut. Jepang mendarat di Pantai Perupuk Batu Bara tanggal 12 Maret 1942, dan sebagai pertahanan dari serangan musuh Jepang memaksa rakyat membuat paret besar (Kanal) dari Daerah Tanah Itam Ulu ke Tanah Itam Hilir menuju arah Perupuk, selain itu Jepang membangun benteng dari beton yang sampai saat ini masih ada keberadaannya sebagai saksi bisu bahwa Jepang Pernah menjajah di Desa Perupuk, dan Pantai Perupuk merupakan pintu gerbang masuknya Jepang kewilayah Sumatera Timur.
d. SD. Neg. Jaman Penjajah Belanda.
SD Negeri ini terletak di Jalan Imam Bonjol Labuhan Ruku Kec. Talawi. Keberadaan SD Negeri ini satu paket dengan gedung bekas Kantor Wedana Batubara dan gedung bekas Asisten Residen Batu Bara.
SD Neg. No. 010146 yang merupakan bangunan sekolah peninggalan Belanda tidak diketahui secara pasti tahun berapa berdiriya, namun menurut Pak Helmi pengsiunan Dinas P dan K Kec. Talawi sejak penjajahan Belanda bangunan ini sudah dipakai sebagai gedung sekolah, dan setelah Indonesia merdeka oleh pemerintah keberadaannya tetap difungsikan sebagai gedung sekolah sampai saat ini, yang diperkuat oleh Pak Ikhsan Camat Talawi.
Kantor Wedana Batu Bara.
Berdasarkan sejarah Kabupaten Asahan14 keberadaan Bekas kantor Wedana Batu Bara berawal dari masuknya Belanda ke Asahan pada tahun 1865, dimana kekuasaan pemerintah dipegang oleh Belanda dengan nama Asisten dan Kontroler.
Pada tahun 1867 dibentuklah Afdeling Asahan yang berkedudukan di Tanjung Balai dengan pembagian wilayah termasuk Onder Efdeling Batu Bara, yang alamatnya sekarang di Jalan Imam Bonjol Labuhan Ruku, dengan kantor Asisten dan Residen Batu Bara yang alamatnya sekarang di Dusun I Desa Mesjid Lama Batu Bara.
Setelah Indonesia merdeka, maka pada tahun 1946 berlaku Pemerintah Militer di Asahan dan berdasarkan hasil rapat KNI Asahan dengan Volksfront bersama dengan para Residen, membentuk Pemerintahan di Asahan dengan Kepala Wilayah dan seorang Wakil Kepala Wilayah, dan Asahan dibagi atas 5 (lima) Kewedanaan, termasuklah Kewedanaan Batu Bara, yang bertempat di Kantor Onder Afdeling Batu Bara, dan dengan sendirinya kantornya berubah nama menjadi Kantor Kewedanaan Batu Bara. Pada tahun 1963 keberadaan Kewedanaan di Sumatera termasuk Asahan dihapuskan, dan sejak itu beralih fungsi menjadi Kantor Camat Talawi sampai tahun 1970.
Istana Niat Lima Laras.15
Istana ini terletak di Desa Laras Kec. Tanjung Tiram, dan keberadaannya satu paket dengan 2 (dua) buah meriam peninggalan Datuk M. Yuda yang terletak di depan istana serta makam Datuk M. Yuda dan makam Panglima Putih yang merupakan panglima perang istana. Makam ini terletak di sebelah kanan belakang istana dan merupakan tempat pemakaman keluarga istana.
Istana Niat Lima Laras berasal dari silsilah Kerajaan Nibung Hangus, dan didirikan sejak awal abad XVII. Di namakan “Istana Niat” dikarenakan Niat Datuk Muhammad Yuda yang akan berangkat ke Negeri Penang Malaysia, beliau berniat apabila dagangannya mendapat untung yang besar ia akan membuat istana yang indah untuk keempat isterinya yang tercinta. Jadi Istana Niat Lima Laras dibangun pada masa raja terakhir, yaitu Datuk Muhammad Yuda yang bergelar Sri Diraja dari tahun 1907 sampai dengan tahun 1912 dengan menghabiskan dana sebesar 150.000 Golden Belanda dan para pekerja di datangkan dari Negeri Siam berkebangsaan Cina.
Sejak berdiri sampai dengan keruntuhannya (Indonesia merdeka) Kerajaan Lima Laras telah diperintah oleh sebanyak 12 raja/datuk, raja-raja tersebut adalah:
Cek Ajung
Cek Zailani
Datuk Imam
Datuk Merah Mata
Datuk Dagang
Datuk Pagak
Datuk Bendahara Berjasa Sakti
Datuk Misidin
Datuk Embung
Datuk Haji Aminuddin
Datuk Haji Ja’far
Datuk Muhammad Yuda bergelar Datuk Sri Diraja, yang wafat pada tahun 1919.
Dikatakan “Kerajaan Lima Laras” karena kerajaan ini memiliki 5 (lima) orang pembantu yang membawahi daerah yang lebih kecil lagi yang dipimpin oleh seorang “tungkat” yang bergelar O.K. (Orang Kaya) . Adapun kelima tungkat yang terakhir memimpin adalah:
OK. Ulung Aminuddin, bergelar OK Maha Menteri adalah Tungkat Lima Laras.
OK Muhammad Yaman, bergelar Laila Setia Pahlawan adalah Tungkat Kampung Rawe.
OK. Johan, bergelar OK Johan Setia Muda adalah Tungkat daerah Kampung Raja.
OK. Abdul Latif, bergelar OK Indra Muda adalah Tungkat Kampung Guntung.
OK. Ingah Lombik, bergelar OK Jaya Indra adalah Tungkat Kampung Lalang.
Pada Agresi Belanda tahun 1946-1947 Istana Niat Lima Laras difungsikan sebagai markas Angkatan Laut di bawah pimpinan Mayor Laut L.M. Dahrif Nasution, dan Angkatan Darat di bawah pimpinan Mayor Wakif, mengingat tempatnya strategis dan keluarga istana dikenal sebagai anti penjajah. Sejak tahun 1950 istana ini mulai nampak rusak akibat perang dan termakan usia, serta para penghuni istana satu demi satu meninggalkan istana untuk mencari penghidupan yang layak.
Istana Raja Pane.
Istana ini terletak di Dusun V Desa Simpang Buntu Pane, Kec. Buntu Pane. Keberadaan istana ini satu paket dengan Batu Pelanggiran yang terletak di Padang Makkire perkebunan Ambalutu Buntu Pane.
Menurut R. Salim Pane, yang saat ini menempati istana tersebut dan merupakan anak dari Raja Pane yang ke XII, sehingga dalam silsilah merupakan raja yang ke XIII mengatakan bahwa Istana Raja Pane yang pertama dibangun di daerah Tratak, namun tidak diketahui pada pemerintahan siapa di daerah tersebut. Kemudian dibangun di daerah Padang Makkire pada masa Pemerintahan Raja Pane yang ke V yaitu Raja Nabaruton, dan selanjutnya di bangun di daerah Dusun V Desa Simpang Buntu Pane pada Tahun 1939 oleh Raja Pane yang ke XII yaitu Sitorus Pane yang lebih dikenal dengan Raja Idup Sitorus Pane.
Berdasarkan penuturan R. Salim Pane yang diperkuat oleh Chairul Pane, abang kandung R. Salim Pane, yang saat ini tinggal di Jalan Bakti Kisaran, mengatakan bahwa dalam pemerintahannya Kerajaan Pane diperintah sebanyak 12 raja, namun raja-raja yang mereka ingat antara lain:
Buttu Martabun, merupakan Raja Pane yang pertama.
Raja Nabaruton, merupakan Raja Pane yang kelima.
Sah Maraja, merupakan Raja Pane yang kesembilan.
Marihot Jawa, merupakan Raja Pane yang kesepuluh.
Sitorus pane, merupakan Raja Pane yang kedua belas, dan bergelar Raja Idup Sitorus Pane.
Dikatakan “Raja Idup” karena dari lima bersaudara anak dari Raja Pane yang kesebelas, hanya satu saja yang hidup sedangkan yang lainnya meninggal dunia sehingga ia bergelar Raja Idup Sitorus Pane. Pada masa pejajahan, tepatnya pada Agresi Militer ke dua Istana Kerajaan Pane ini pernah dikuasai oleh Belanda, maka seluruh keluarga mengungsi ke Pulau Raja dan pada tahun 1948 kembali lagi ke istana, namun semua harta dan barang-barang peninggalan istana musnah, jadi yang tinggal hanya istana yang ada sampai saat ini, Raja Pane yang kedua belas ini meninggal pada tahun 1987.
Sementara itu Batu Pelanggiran adalah merupakan patung dari Raja Pane yang ke lima yaitu Raja Nabaruton. Dikatakan pelanggiran karena patung ini terletak di daerah bukit yang berada di pinggir sungai Silo (sungai Kisaran), dimana di pinggir sungai itu terdapat sebuah batu yang menjorok ke tengah sungai dan selalu dipergunakan oleh masyarakat setempat sebagai tempat berpangir ketika akan menyambut puasa Ramadhan, sehingga patung Raja Nabaruton itu dikatakan Batu Pelanggiran.
2. Peraturan daerah tentang perlindungan benda cagar budaya di Kabupaten Asahan.
Sudah selayaknyalah Pemerintah Kabupaten Asahan memiliki Peraturan Daerah (Perda) mengenai perlindungan benda-benda bersejarah tersebut, guna mendukung pelestarian bangunan-bangunan bersejarah, terutama dalam melindungi asset sejarah Kabupaten Asahan dari ancaman kepunahan.
Namun sangat disayangkan sampai saat ini (laporan penelitian ini dibuat) tidak ada satu pun Perda maupun Surat keputusan Bupati yang mengatur tentang perlindungan terhadap benda cagar budaya (benda bersejarah) tersebut, bahkan UUBCB dan PP No. 10 Tahun 1993 belum terinventarisasi. Demikian dikatakan Akhlan bagian hukum, yang diperkuat oleh Suryadi Kasubag Perlengkapan, Pemerintah Kabupaten Asahan. Hal ini diperkuat kembali oleh Musthofal Akhyar Kepala Seksi Pengembangan Bahasa dan Seni Budaya, Subdinas Kebudayaan P dan K Kabupaten Asahan.
Bahkan menurut Musthofal Akhyar sampai saat ini belum ada satupun peningggalan benda bersejarah itu digolongkan kepada benda cagar budaya melalui Perda maupun Surat Keputusan Bupati. Bahkan surat penetapan dari Kepala Dinas P dan K belum ada menunjuk hal tersebut walaupun berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUBCB, bangunan-bangunan seperti Istana Niat Lima Laras, Istana Kerajaan Indra Pura, Istana Buntu Pane, SD Negeri Jaman Penjajahan Belanda, Gedung bekas Kantor Wedana Batu Bara, Gedung bekas Asisten Residen Batu Bara, Benteng peninggalan Jepang dan lain-lain sudah termasuk golongan benda cagar budaya.
Jadi sampai saat ini menurut Musthofal Akhyar masih sebatas situs, yang terdiri dari 42 (empat puluh dua) situs, dan terhadap penetapan situs ini pun belum ada pengaturannya, hanya berdasarkan laporan dari petugas penilik kebudayaan di Kecamatan. Bahkan yang sangat disayangkan dari ke 42 situs tersebut, tidak satupun yang memiliki keterangan yang jelas, seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) PP No. 10 Tahun 1993 yang menyebutkan setiap pendaftaran benda cagar budaya harus disampaikan secara tertulis dengan dilengkapi, identitas pemilik, riwayat benda cagar budaya, jenis, jumlah, bentuk dan ukuran benda cagar budaya, serta dilengkapi pula dalam gambar peta situasi benda cagar budaya tersebut berada, sehingga Kabupaten Asahan khususnya Dinas P dan K tidak memiliki dokumen yang jelas terhadap benda-benda bersejarah di daerahnya.
Lebih lanjut Musthofal Akhyar menyatakan ada satu peristiwa yang sangat penting menyangkut benda bersejarah di Kabupaten Asahan, yaitu penyerahan pengelolaan Istana Niat Lima Laras dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Utara yang diwakili oleh Drs. R.M. Soesetyo sebagai Kakanwil Depdikbud atas nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia kepada R. Sihotang sebagai Bupati Kepala Daerah atas nama Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Asahan, dengan berita acara penyerahan Nomor 7366/105/J/90.14, agar Istana Niat Lima Laras yang terletak di Desa Lima Laras Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Asahan untuk dirawat dan dimanfaatkan sepenuhnya sebagai peningggalan sejarah dan budaya di daerah Tingkat II Kabupaten Asahan, sesuai dengan Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 430/15598 tanggal 18 Juli 1990. Namun sampai saat ini pengaturan dan perawatan serta peruntukan kemanfaatannya juga belum jelas.
Nampaknya Pemerintah Kabupaten Asahan belum memiliki keinginan untuk mengurusi benda-benda bersejarah ini. Seharusnya, Pemerintah Kabupaten Asahan menyadari bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah pengaturan terhadap benda bersejarah sangat penting.
Menyikapi hal tersebut di atas, maka Pemerintah Kabupaten Asahan seharusnya merealisasikan amanat UUBCB dengan mengeluarkan Perda. Adapun beberapa pasal dalam UUBC yang telah mengaturnya, yakni; Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 5 ayat (1) UUBCB jo Pasal 2 ayat (1) PP No. 10 Tahun 1993 menyebutkan untuk perlindungan dan atau pelestarian benda cagar budaya, benda yang diduga benda cagar budaya, benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya baik bergerak maupun tidak bergerak, dan situs yag berada di wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh Negara. Kemudian dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) UUBCB dinyatakan pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggungjawab pemerintah dan pemerintah melaksanakan pengawasan terhadap benda cagar budaya beserta situs yang ditetapkan.
Kewenangan pemerintah daerah, juga sangat jelas diatur dalam Pasal 15 ayat (2) butir b UUBCB, yang menyebutkan tanpa ijin dari Pemerintah setiap orang dilarang memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah yang lainnya. Kabupaten/Kotamadya/Daerah Tingkat II di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) PP No. 10 Tahun 1993 disebutkan setiap orang yang memiliki benda cagar budaya wajib mendaftarkannya, dan pendaftaran benda cagar budaya dilakukan pada instansi pemerintah yang bertanggungjawab atas pendaftaran benda cagar budaya di Daerah Tingkat II tempat benda cagar budaya tersebut berada.
3. Masalah dan hambatan perlindungan benda cagar budaya di Kabupaten Asahan.
Banyak kelemahan internal yang didapatkan pada upaya perlindungan benda cagar budaya. Kelemahan internal memang bagian yang tergolong sulit diatasi, namun dengan berbagai methode dan teknis arkeologis diusahakan agar kelemahan itu dapat diatasi.16
Tidak kalah besarnya yang diderita oleh akibat pelaksanaan pembangunan yang tidak berwawasan budaya. Di balik keberhasilan pembangunan yang sedang berlangsung, telah banyak melahirkan berbagai masalah. Dunia arkeologi banyak menderita kerugian yang tidak bisa diukur dengan materi, sebagai akibat pelaksanaan pembangunan yang tidak berwawasan budaya. Banyak benda cagar budaya tidak bergerak yang dibongkar dan diganti dengan bangunan baru, karena hanya dilihat dari segi ekonomi semata dan menyingkirkan aspek budayanya.17 Sedangkan untuk Kabupaten Asahan, permasalahan yang krusial kelihatan datangnya dari Pemerintah Kabupaten sendiri, dimana Pemerintah Kabupaten Asahan nampaknya belum ada keinginan untuk melestarikan dan melindungi benda-benda peninggalan sejarah, diantaranya sampai saat ini belum direalisasikannya UUBCB dan PP No. 10 Tahun 1993.
Hal yang sama juga dikatakan Asrial Mirza Ketua Dewan Kesenian Asahan, dimana pihaknya pernah mengajukan proposal mengenai inventarisasi peninggalan sejarah dan purbakala yang ada di Kabupaten Asahan, dan sekaligus di samping inventarisasi juga untuk dirawat dan diarahkan ke objek wisata, namun sampai saat ini tidak ada tanggapan.18
Musthofal Akhyar mengatakan ada beberapa hal penghambat terhadap perlindungan benda cagar budaya di Kabupaten Asahan, diantaranya:
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap benda-benda peninggalan bersejarah.
Tidak adanya pembinaan dan pengarahan dari pihak pemerintah/ khususnya Pemerintah Kabupaten Asahan terhadap bawahan sehingga para pegawai, khususnya pegawai penilik kebudayaan kurang paham apa yang ditugaskan kepadanya.
Tidak profesionalnya pegawai penilik kebudayaan yang diangkat, artinya sampai saat ini tidak satu pun sarjana arkeologi yang diangkat menjadi pegawai penilik kebudayaan.
Tidak spesifikasinya pengurusan terhadap bidang budaya, dimana setiap dinas memiliki bidang budaya seperti Bapeda, Pariwisata, dan Kabag Sosial, sehingga terjadi tumpang tindih pengurusan. Alangkah baiknya bila dipegang oleh salah satu dinas saja.
Serta yang sangat disayangkan saat ini adalah dengan dihapuskannya penilik kebudayaan di kecamatan, maka semakin sulitlah untuk melakukan pendataan terhadap benda cagar budaya tersebut.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah menyangkut pendanaan, kemungkinan pemerintah Kabupaten Asahan kekurangan dana untuk melindungi dan melestarikan benda-benda cagar budaya tersebut.
Akan tetapi ketiadaan Perda memperkuat asumsi bahwa Pemerintah Kabupaten Asahan belum memiliki keinginan untuk melestarikan dan melindungi benda-benda cagar budaya yang ada, sehingga tidak heran beberapa dari benda-benda cagar budaya itu sudah ada yang hilang, musnah, bahkan banyak yang sudah rusak akibat kurang terawat, seperti gedung bekas Asisten Residen Batu Bara, yang kini menjadi kebun kelapa sawit, gedung bekas Kantor Wedana Batu Bara, terbengkalai karena tidak dirawat dan dimanfaatkan keberadaannya, serta masih banyak lagi benda-benda cagar budaya yang meminta perhatian dan uluran tangan Pemerintah Kabupaten Asahan.
PENUTUP
Kesimpulan.
Sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Asahan nampaknya belum memiliki keinginan untuk merawat dan melestarikan benda cagar budaya, hal ini terbukti dengan tidak adanya satu Perda atau Surat Keputusan Bupati menyangkut pelestarian benda cagar budaya yang dimaksud.
Sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Asahan belum memiliki inventarisasi peraturan perundang-undangan tentang perlindungan benda cagar budaya, sehingga laporan penilik kebudayaan kecamatan yang menyampaikan bahwa adanya 42 situs di daerah tersebut tidak mendapat respon, sehingga situs-situs yang dimaksud banyak yang terlantar, tidak terawat karena tidak adanya peraturan yang jelas untuk melindungi situs-situs tersebut dari Pemerintah Kabupaten Asahan.
Di balik nilai penting sebagai sumber daya budaya, aset budaya dalam bentuk benda cagar budaya banyak menghadapi gangguan dan ancaman yang bersifat eksternal, di samping secara fisik telah menyimpan berbagai keterbatasan dan kelemahan (internal). Gangguan dan ancaman yang bersifat eksternal cenderung semakin meningkat sejalan dengan makin cepatnya perubahan dan pergeseran nilai dan pandangan masyarakat sebagai pemilik kebudayaan. Apabila masyarakat mulai meninggalkan asset budaya yang dimilikinya, maka kelangsungan hidupnya tidak akan terjamin. Kelemahan internal banyak didapatkan pada banyak benda cagar budaya yang tidak mendapatkan perhatian dan perawatan. Kelemahan internal memang bagian yang tergolong sulit diatasi, namun dengan berbagai methode dan teknis arkeologis diusahakan agar kelemahan itu dapat diatasi.
Saran.
Tidak adanya Perda untuk melindungi benda-benda bersejarah di Kabupaten Asahan, dikhawatirkan setiap orang tidak akan segan untuk melakukan perusakan bahkan pencurian terhadap benda-benda bersejarah tersebut. Oleh karenanya sebaiknya secepat mungkin Pemerintah Kabupaten Asahan mengeluarkan Perda menyangkut benda cagar budaya dimaksud agar bangunan-bangunan kuno yang memiliki nilai-nilai kesejarahan dengan arsitektur yang khas dan unik tidak hilang di telan zaman.
Diharapkan Pemerintah Kabupaten Asahan dapat memberikan perhatian yang penuh terhadap benda-benda bersejara ini, baik dari segi pengamanan, perawatan, bahkan pemugaran dengan tetap memperhatikan keaslian dan nilai sejarahnya. Oleh karenanya Pemerintah Kabupaten Asahan dapat memberikan bantuan dalam bentuk keahlian maupun financial untuk perbaikan yang disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan Pemerintah Kabupaten Asahan.
Sebaikya dilakukan upaya-upaya penyadaran melalui penyuluhan terhadap aparat pemerintah dan masyarakat tentang manfaat dari benda cagar budaya agar perawatan dan perlindungan terhadap benda cagar budaya ini dapat terlaksana dengan baik, bila perlu didirikan sebuah museum di Kabupaten Asahan untuk melestarikan benda-benda bersejarah ini.
Daftar Pustaka
Buku
Bupati Asahan, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ketatanegaraan/ Sejarah Pemerintahan Kabupaten Asahan, dibacakan pada peringatan hari jadi Asahan ke-56, tanggal 15 Maret 2002.
H. Mansyur Ali., Riwayat Hidup dan Perjuangan, Syekh H. Abdurrahman Silau (Syekh Silau Laut), diterbitkan dalam rangka Hul Setengah Abad (ke-50) tanggal 24 Desember 1989.
Musthofal Akhyar., Mengenal Dari Dekat Istana Niat Lima Laras, Kisaran, 20 Juni 2001.
H. Muchtar Tanjung., Riwayat Mendirikan Kerajaan Negeri Tanjung, Indrapura, 25 Juni 2002.
Laporan Penelitia/Artikel
Ikhwaluddin Simatupang., “Perlindungan Benda Cagar Budaya Di Kota Medan”, Lapoeran Penelitian, Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2001.
Nehe Nurkarim.,“Tempat Pendaratan Tentara Jepang: Pantai Perupuk Riwayatmu Kini”, Waspada, 14 Agustus 2003.
Suryanelli, ”Pengelolaan serta Pemanfaatan Benteng Fort De Kock Bukit Tinggi Sebagai Benda Cagar Budaya”, Laporan Penelitian, Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2001.
Peraturan-peraturan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Berita Acara Penyerahan/Pemanfaatan Istana Niat Lima Laras, Nomor 7366 / 105 / J / 90. 14, tanggal 14 September 1990.
1 Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
2 Secara etimologi kata lingkungan hidup berasal dari bahasa Inggris yang disebut dengan environment. Sedang dalam bahasa Belanda disebut dengan millieu dan dalam bahasa Prancis disebut dengan I’environment. Istilah tersebut sering kali dipergunakan secara silih berganti dalam pengertian yang sama. Lihat N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi kedua, Erlangga, Jakarta, 2004, hlm. 4. Istilah lingkungan hidup berasal dari dua suku kata, yaitu lingkungan dan hidup. Istilah lingkungan dalam pemahaman sehari-hari mempunyai makna berbeda-beda, tergantung dari sudut mana penilaiannya dilakukan. Lingkungan dapat diartikan sebagai jumlah semua benda dan daya serta kondisi yang ada dalam ruang yang ditempati dan mempengaruhi manusia. Lihat Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta, 1987, hlm. 30. Sedangkan lingkungan hidup mengandung arti sebagai tempat, wadah atau ruang yang ditempati oleh mahluk hidup dan tidak hidup yang berhubungan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain, baik antara mahluk-mahluk itu sendiri maupun antara mahluk-mahluk itu dengan alam sekitarnya. Dan lihat Harun M. Husen, Lingkungan Hidup, Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hlm. 6.
3 Pada penjelasan Pasal 14 UULH diuraikan, perlindungan cagar budaya ditujukan pada konservasi peninggalan budaya yang mengandung nilai-nilai luhur.
4 Pada Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat dengan UUBCB) memberikan batasan tentang pengertian benda cagar budaya, yaitu; Pertama, benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya yang sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kedua, benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
5 Ibid., hlm. 20-21.
6 Ikhwaluddin Simatupang, Perlindungan Benda Cagar Budaya di Kota Medan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2001, hlm. 11.
7 Ibid.
8 Suryanelli, Pengelolaan Serta Pemanfaatan Benteng Fort De Kock Bukit Tinggi Sebagai Benda Cagar Budaya, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2001, hlm. 35-37.
9 Ikhwaluddin Simatupang, Op.Cit., hlm. 14.
10 Hasil wawancara pada tanggal 3-7 Juli 2004.
11 Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUBCB yang dimaksud dengan situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.
12 Uraian ini dikutip dari tulisan H. Mansyur Ali, Riwayat Hidup dan Perjuangan Syekh H. Abdurrahman Silau (Syekh Silau Laut), Diterbitkan dalam rangka Haul Setengah Abad (ke-50) tanggal 24 Desember 1989.
13 Uraian ini dikutip dari tulisan H. Muchtar Tanjung, Riwayat Mendirikan Kerajaan Negeri Tanjung, Indrapura, 25 Juni 2002.
14 Uraian ini dikutip dari Pidato Bupati Asahan tentang, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ketatanegaraan/Sejarah Pemerintahan Kabupaten Asahan, dibacakan pada peringatan hari jadi Asahan ke-56, tanggal 15 Maret 2002.
15 Pada uraian ini dikutip dari tulisan Musthofal Akhyar, Mengenal Dari Dekat Istana Niat Lima Laras, Kisaran, 20 Juni 2001.
16 Ikhwaluddin Simatupang, Op.Cit., hlm. 92.
17 Ibid., hlm. 93.
18 Nurkarim Nehe, “Tempat Pendaratan Tentara Jepang: Pantai Perupuk Riwayatmu Kini”, Waspada, 14 Agustus 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar