Rabu, 30 April 2008

Pembatalan Perkawinan

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA ALASAN POLIGAMI

(Suatu Analisis terhadap Keputusan Pengadilan Agama

Nomor: 238/Pdt.G/1999/PA-Medan dari Persfektif Fiqh Islam)


Oleh: Tengku Erwinsyahbana1


Abstrak


Pelaksanaan perkawinan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh berbagai hukum agama, sehingga dalam penerapannya mungkin saja menimbulkan persoalan-persoalan baru yang sulit untuk dicarikan jalan penyelesaiannya. Wajar kiranya hukum agama dari orang-orang yang melangsungkan perkawinan berpengaruh terhadap pelaksanaan perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa sahnya suatu perkawinan apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari orang yang melangsungkan perkawinan. Adanya ketentuan demikian membawa konsekuensi yuridis bahwa perkawinan pada satu sisi haruslah memenuhi syarat menurut ketentuan undang-undang dan pada sisi lainnya harus pula memenuhi syarat sebagaimana yang berlaku menurut hukum agamanya. Keadaan ini sering menimbulkan problematika dalam lapangan hukum perkawinan, sebab suatu syarat yang ditegaskan oleh undang-undang belum tentu merupakan syarat sah perkawinan menurut hukum agama, akibatnya tidak jarang terjadi perkawinan itu berlangsung tanpa mengindahkan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang. Persoalan yang menarik untuk dianalisis bahwa menurut undang-undang, perkawinan dapat dibatalkan oleh pengadilan jika syarat perkawinan tidak dipenuhi. Syarat yang dimaksudkan bukan terbatas pada syarat menurut hukum agama tetapi juga syarat yang ditentukan oleh undang-undang, sementara ketiadaan syarat tersebut bukan berarti perkawinannya tidak sah menurut agama, dengan kata lain tidak menyebabkan haramnya hubungan kelamin antara pasangan suami isteri.


Kata kunci: Pembatalan Perkawinan, Poligami, Fiqh Islam.


  1. Pendahuluan

Perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami isteri.2

Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.3 Al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.4 Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah mempunyai dua makna, yaitu perjanjian/akad dan bersetubuh/berkumpul.

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (selanjutnya disebut UUP), memberikan pengertian perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Sidi Gazalba menyebutkan bahwa tidak merupakan perkawinan andaikata ikatan lahir bathin tidak bahagia atau perkawinan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, tetapi bukan berarti bahwa perjanjian ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa, para pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjiannya, sebaliknya dalam perkawinan, para pihak tidak bisa menentukan isi dan bentuk perjanjiannya selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku.

Perbedaan lain yang dapat dilihat adalah dalam hal berakhirnya perjanjian, bahwa pada perjanjian biasa, berakhirnya perjanjian ditetapkan oleh kedua belah pihak, misalnya karena telah tercapainya apa yang menjadi pokok perjanjian atau karena batas waktu yang ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus menerus. Sebaliknya perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus kekal, kecuali karena suatu hal di luar kehendak para pihak, barulah perkawinan dapat diputuskan, misalnya dengan perceraian atau pembatalan perkawinan.

Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya. Bagaimana sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibatnya pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus, antara lain bahwa kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.6

Masyarakat manapun di berbagai daerah memiliki aturan dan pola kebiasaan mengatur seksualitas, kelahiran dan mengasuh anaknya. Institusi untuk melingkupi aturan dan pola kebiasaan ini adalah melalui perkawinan. Institusi ini dengan berbagai bentuknya telah ada sepanjang peradaban manusia, misalnya dengan bentuk monogami, poligami, eksogami, endogami dan lain-lain.

Penyelenggaraan perkawinan di beberapa komunitas masyarakat, ada kalanya tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang akan kawin, bahkan dalam banyak kasus, si pria atau si wanita baru mengetahui dengan siapa dia akan dikawinkan pada saat perkawinannya akan dilangsungkan. Sering pula terdengar kasus bahwa perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang melangsungkan perkawinan, tetapi berten-tangan dengan kehendak pihak lain, misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria atau dari keluarga wanita. Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak adanya kebahagiaan dalam rumah tangga dan akhirnya dengan terpaksa ikatan perkawinan tersebut diputuskan.

Mengingat berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, maka diperlukan adanya keseragaman hukum perkawinan di Indonesia dan pada tahun 1974 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum yang berlaku secara nasional, yakni dengan diundangkannya UUP, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974.

UUP mendapat pengaruh yang besar dari berbagai agama, yang dalam penerapannya dapat menimbulkan persoalan-persoalan baru yang mungkin sulit untuk diselesaikan. Wajar kiranya undang-undang ini mendapat pengaruh dari agama, karena berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUP ditegaskan bahwa sahnya suatu perkawinan apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari orang yang melangsungkan perkawinan. Konsekuensi terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP ini, maka bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan, ada dua aturan hukum yang harus dijadikan pedoman, yaitu UUP pada satu sisi dan hukum agamanya pada sisi lain. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam lapangan hukum perkawinan, masih ada suatu keadaan yang dikenal dengan istilah pluralisme atau keanekaragaman hukum.

Keanekaragaman dalam lapangan hukum perkawinan, memungkinkan timbulnya persoalan-persoalan baru terhadap penerapan hukumnya, misalnya karena terdapatnya ketidaksesuaian antara UUP dengan hukum agama, maka ketentuan manakah dijadikan pedoman. Kondisi demikian menyebabkan kepastian hukum tidaklah mungkin dapat terwujudkan, karena salah satu sebab adanya ketidakpastian hukum apabila peraturan saling bertentangan.

Persoalan yang cukup menarik untuk dianalisis adalah tentang pembatalan perkawinan, bahwa berdasarkan Pasal 22 UUP, jika suatu perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Ada kemungkinan suatu perkawinan sudah sah menurut hukum agama, tetapi tidak memenuhi syarat menurut undang-undang, maka dengan berpedoman pada UUP, tentunya perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Persoalannya adalah bahwa pasangan suami isteri yang perkawinannya telah dibatalkan masih dapat tetap hidup serumah sebagai suami isteri, dengan alasan bahwa perkawinan yang dilangsungkannya sah menurut hukum agamanya, hanya saja syarat formil yang mungkin tidak terpenuhi, sementara syarat demikian tidaklah sebagai penghalang untuk halalnya hubungan kelamin antara pasangan suami isteri.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, perlu kiranya dilakukan pengkajian tentang ketentuan pembatalan perkawinan, berhubung terhadap perkawinan ada dua aturan yang harus dipedomani, yaitu UUP pada satu sisi dan hukum agama pada sisi lainnya.


Syarat dan Rukun Perkawinan

Sahnya suatu perkawinan dalam hukum Islam adalah dengan terlaksananya akad nikah yang memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Ada silang pendapat berkenaan dengan mana yang termasuk rukun dan mana yang tidak, jadi dapat saja sebagian ulama menyebutnya sebagai rukun dan sebagian lainnya menyebut sebagai syarat.

Abdurrahman al-Jaziri sebagaimana yang dikutip Amiur Nuruddin, mengatakan bahwa yang termasuk rukun adalah al-ijab dan al-qabul. Sayyid Sabiq menyimpulkan, menurut fuqaha, rukun nikah terdiri dari al-ijab dan al-qabul, sedangkan yang lainnya termasuk ke dalam syarat.7 Berdasarkan kedua pendapat ini, maka wali, mahar, saksi dan lain-lain tidaklah termasuk dalam kelompok rukun nikah, sementara menurut Syafi’i, saksi termasuk rukun nikah.8

Kiranya perlu dikemukakan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan syarat dan rukun. R. Abdul Djamali memberikan pengertian syarat ialah segala sesuatu yang telah ditentukan dalam hukum Islam sebagai norma untuk menetapkan sahnya perkawinan sebelum dilangsungkan.9 Sedangkan yang dimaksud dengan rukun ialah segala sesuatu yang ditentukan menurut hukum Islam dan harus dipenuhi pada saat perkawinan dilangsungkan.10

Berdasarkan pengertian yang diberikannya, maka beda antara keduanya terletak pada saat kapan ketentuan tersebut harus dipenuhi. Syarat perkawinan harus dipenuhi sebelum perkawinan berlangsung, sedangkan rukun perkawinan harus dipenuhi saat perkawinannya justru sedang berlangsung. Selanjutnya penjelasan tentang syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinan, dapat dijabarkan pembagiannya sebagai berikut:

  1. Syarat-syarat perkawinan:

    1. Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan.

    2. Dewasa.

    3. Kesamaan agama Islam.

    4. Tidak dalam hubungan nasab.

    5. Tidak ada hubungan sepersusuan.

    6. Tidak ada hubungan semenda.

    7. Dan syarat-syarat yang berlaku khusus, yaitu:

        1. Pria tidak boleh mempunyai isteri lebih dari 4 (empat) orang.

        2. Poligami tidak boleh dirangkap antara isteri yang masih ada hubungan darah dengan calon isteri berikutnya.

        3. Tidak boleh mengawini kembali bekas isteri yang telah dili’an.

        4. Wanita tidak sedang terikat dengan perkawinan lain.

        5. Wanita tidak sedang dalam masa iddah.

  2. Rukun-rukun perkawinan:

    1. Calon pengantin pria dan wanita.

    2. Wali.

    3. Saksi.

    4. Akad nikah melalui ijab-qabul.11

Ahmad Rafiq mengemukakan bahwa menurut jumhur ulama, rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Pembagian rukun dan syarat perkawinan menurut jumhur ulama tersebut, sebagai berikut:

  1. Calon suami, syarat-syaratnya:

      1. Beragama Islam.

      2. Laki-laki.

      3. Jelas orangnya.

      4. Dapat memberikan persetujuan.

      5. Tidak terdapat halangan perkawinan.

  1. Calon isteri, syarat-syaratnya:

  1. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani.

  2. Perempuan.

  3. Jelas orangnya.

  4. Dapat dimintai persetujuannya.

  5. Tidak terdapat halangan perkawinan.

  1. Wali nikah, syarat-syaratnya:

  1. Laki-laki.

  2. Dewasa.

  3. Mempunyai hak perwalian.

  4. Tidak terdapat halangan perwaliannya.

  1. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

  1. Minimal dua orang laki-laki.

  2. Hadir dalam ijab qabul.

  3. Dapat mengerti maksud akad.

  4. Islam.

  5. Dewasa.

  1. Ijab qabul, syarat-syaratnya:

  1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.

  2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.

  3. Memahami kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut.

  4. Antara ijab dan qabul bersambungan.

  5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.

  6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umroh.

  7. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua saksi.12


Berbeda dengan pendapat Sayuti Thalib, yang menggunakan istilah hal-hal yang berkenaan dengan akad nikah, yaitu:

    1. Ijab kabul.

    2. Wali pihak perempuan.

    3. Persetujuan kedua mempelai.

    4. Calon pengantin laki-laki hadir sendiri dalam melaksanakan akad nikah.

    5. Dua orang saksi.

    6. Mahar atau sadaq.13


Masing-masing pendapat tersebut, antara yang satu dengan lainnya tampak adanya perbedaan-perbedaan, baik dalam penentuan istilah rukun dan syarat nikah, maupun dalam memasukkan mana yang termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat. Seperti Sayuti Thalib, memasukkan unsur mahar, sedangkan Abdul Djamali dan Ahmad Rafiq tidak demikian. Begitu juga halnya pendapat Abdullah Nashih’ulwan, yang memasukkan unsur mahar sebagai salah satu hukum nikah.14 Menurutnya, ini didasarkan pada firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 4, yang artinya: “Dan berikanlah mas kawin (mahar) kepada perempuan-perempuan itu sebagai pemberian wajar, tetapi jika mereka dengan kesukaan hatinya memberikan kepadamu sebagian, boleh kamu makan dengan cukup dan puas.”15

Istilah rukun nikah, tidak ditemukan dalam UUP, tetapi hanya menyebutkan tentang syarat-syarat perkawinan, sebagaimana yang diatur dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UUP. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:

    1. Persetujuan bebas dari kedua calon mempelai.

    2. Bagi yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua atau salah satu orang tua atau wali atau orang yang memeliharanya atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan.

    3. Perkawinan hanya dapat diizinkan jika pria telah berumur 19 tahun dan wanita telah berumur 16 tahun.

    4. Para pihak yang akan kawin tidak terlarang kawin karena adanya hubungan darah atau hubungan semenda atau hubungan sepesusuan atau hubungan saudara karena suami beristeri lebih dari seorang (isteri sebelumnya masih bersaudara dengan isteri berikutnya) atau hubungan lain yang dilarang oleh agama atau peraturan lain yang berlaku.

    5. Tidak sedang terikat dalam suatu perkawinan lain.

    6. Para pihak yang akan kawin tidak terhalang kawin berhubung keduanya telah bercerai untuk kedua kalinya.

    7. Bagi pihak wanita tidak sedang dalam masa iddah.

Khusus bagi pria yang ingin beristeri lebih dari seorang, ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi, sebagaimana tersebut dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UUP, yaitu:

    1. Adanya izin dari pengadilan.

    2. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.

    3. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

    4. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UUP, maka perkawinan juga harus memenuhi syarat-syarat yang bersifat formalitas.16 Syarat-syarat formalitas ini diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946, tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk,17 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, serta Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975. Syarat-syarat perkawinan tersebut, antara lain sebagai berikut:

    1. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan melangsungkan perkawinannya, harus memberitahukan kehendaknya secara tertulis kepada pejabat atasannya.

    2. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, bahwa Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, harus meminta izin kepada pejabat atasannya.

    3. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, bahwa Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari seorang laki-laki yang bukan Pegawai Negeri Sipil, harus meminta izin kepada pejabat atasannya18.

    4. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, bahwa calon mempelai yang akan melaksanakan perkawinan atau orang tua atau wakil dari calon mempelai, harus terlebih dahulu memberitahukan kehendaknya secara lisan atau secara tertulis kepada Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama.

    5. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 7 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, bahwa Pegawai Pencatat Nikah yang telah menerima pemberitahuan, harus melakukan penelitian/pemeriksaan apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut hukum munakahat dan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan.

    6. Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 19 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, bahwa setelah penelitian dilakukan, ternyata syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan tidak terdapat halangan perka-winan, Pegawai Pencatat Nikah menyelenggarakan pengumuman tentang pemberi-tahuan kehendak untuk melangsungkan perkawinan.

    7. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946, Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, bahwa pelaksanaan perkawinan harus diawasi, di hadapan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama.

Ada perbedaan antara UUP dengan pendapat para fuqaha yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh mengenai syarat sahnya perkawinan, namun demikian mengingat UUP telah menegaskan bahwa sahnya perkawinan jika dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari orang yang melangsungkan perkawinan, maka bagi orang-orang yang beragama Islam, selain harus memenuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang tersebut di atas, berarti juga harus memenuhi syarat dan rukun berdasarkan syari’at Islam.


C. Alasan Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan

UUP telah mengatur tentang pembatalan perkawinan, ketentuannya terdapat pada Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UUP. Selain itu, ketentuan pembatalan perkawinan, diatur pula pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, tentang pelaksanaan UUP, yaitu pada Pasal 37 dan Pasal 38. Demikian juga dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam, ada satu pasal yang mengatur pembatalan perkawinan, yaitu pada Pasal 27.

Pasal 22 UUP, menegaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Penjelasan Pasal 22, menyebutkan bahwa istilah “dapat” berarti bisa batal atau bisa tidak batal, apabila menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Apa yang dimaksud dengan pembatalan perkawinan itu sendiri, UUP tidak memberikan penjelasan lebih lanjut secara rinci.

Istilah “dapat” dalam UUP yang berarti “bisa batal” atau “bisa tidak batal” bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain, sebenarnya menyebabkan terjadinya kerancuan (ketidakpastian hukum) terhadap aturan pembatalan perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang batal menurut UUP, belum tentu batal menurut syari’at Islam, karena ukuran tentang batal atau tidaknya suatu akad perkawinan, tetap saja dikembalikan kepada hukum agama para pihak yang melangsungkan perkawinan.

Istilah batalnya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal. Menurut literatur dalam ilmu hukum, batal dapat diartikan batal demi hukum (batal mutlak), dapat pula diartikan dapat dibatalkan, yang prosedur keduanya berbeda. Dapat dibatalkan prosedurnya harus dimohonkan kepada hakim,19 sedang batal mutlak, hakim berwenang karena jabatannya mengucapkan pembatalan, meskipun tidak ada permintaan para pihak.20

Penggunaan istilah dapat dibatalkan dalam UUP berarti dapat ditafsirkan menjadi relatif nietig, dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan, lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.21

Memperhatikan penjelasan Pasal 22 UUP, berarti terhadap perkawinan yang tidak memenuhi syarat ada dua kemungkinan, pertama perkawinan tersebut dapat dibatalkan, kedua dapat tidak dibatalkan jika ada pengecualian dari hukum agama para pihak yang telah melangsungkan perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan bukan saja karena tidak terpenuhinya syarat perkawinan, tetapi berdasarkan Pasal 24, 26 dan 27 UUP, pembatalan dapat pula dilaksanakan jika:

    1. Salah satu pihak masih terikat dengan perkawinan lain.

    2. Perkawinan tersebut dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang atau wali nikahnya tidak sah atau karena tidak dihadiri dua orang saksi.

    3. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

    4. Pada waktu perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

Berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 (selanjutnya disingkat PP No. 9/1975), bahwa batalnya perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Konsekuensi dari ketentuan ini bahwa antara suami isteri tidaklah dibenarkan membatalkan perkawinannya secara langsung tanpa melalui proses permohonan pembatalan di pengadilan dan proses permohonannya sama dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 PP No. 9/1975. Alasan pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 37 PP No. 9/1975, yaitu untuk menghindari terjadinya pembatalan perkawinan oleh instansi lain di luar pengadilan, berhubung pembatalan perkawinan membawa akibat yang jauh, baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarganya.

Ketentuan lebih lanjut dalam Pasal 27 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 (selanjutnya disingkat PMA No. 3/1975) disebutkan bahwa apabila pernikahan telah berlangsung, kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak sebagaimana dimaksud Pasal 23 UUP, yaitu:

  1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.

  2. Suami atau isteri.

  3. Pejabat berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.

  4. Pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Apabila diperhatikan ketentuan pembatalan perkawinan yang ada pada Pasal 26 ayat (1) UUP, yang menegaskan bahwa terhadap perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, maka dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

Ketentuan ini dapat menimbulkan permasalahan baru dalam lapangan hukum perkawinan. Ada kemungkinan suatu perkawinan direstui oleh kedua keluarga dalam garis lurus ke atas dari pasangan suami isteri dan kedua pasangan suami isteri memang menghendaki perkawinan itu. Sementara rukun-rukun serta syarat-syarat perkawinan yang sudah dipenuhi, maka tidaklah sewajarnya salah satu dari pihak keluarga tersebut atau salah satu dari suami atau isteri memintakan pembatalan perkawinan kepada pengadilan, hanya karena alasan perkawinannya dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat yang tidak berwenang. Tidaklah memungkinkan, jika salah satu dari mereka menuntut pembatalan perkawinan yang telah dilangsungkan, hal ini berarti sama saja melaporkan bahwa dirinya telah ikut melakukan tindak pidana.22

Adanya ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUP ini, sebenarnya telah menggeser nilai-nilai keadilan dengan merendahkan posisi, harkat dan martabat kaum wanita (isteri), karena bukan tidak mungkin setelah laki-laki (suami) menikmati madu dari isterinya, kemudian dengan alasan tidak terpenuhinya syarat formalitas (dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang), padahal perkawinan itu atas restu keluarga (orang tua) kedua belah pihak dan atas kehendak bersama pasangan suami isteri, maka dia membatalkan perkawinan itu melalui pengadilan, maka jelas kenyataan ini hanya merugikan pihak wanita (isteri) saja.

Mengingat penjelasan Pasal 22 UUP tersebut, maka dapat ditafsirkan bahwa perkawinan yang berlangsung di hadapan pejabat tidak berwenang seharusnya tidak boleh dibatalkan, karena hukum agama (syari’at Islam) tidak ada menentukan bahwa perkawinan demikian adalah batal.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) UUP, bahwa seorang laki-laki (suami) yang hendak berpoligami harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dari pengadilan dan persetujuan isteri/isteri-isterinya. Izin dan persetujuan dimaksud tidak bisa tidak harus diperolehnya dan jika tidak ada, maka berdasarkan Pasal 24 UUP, isterinya yang terdahulu dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada pengadilan terhadap perkawinan suami yang berikutnya.

Alasan Pembatalan Perkawinan Menurut Fiqh Islam

Fiqh Islam mengenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama, yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil, apabila tidak terpenuhi rukun-rukunnya. Hukum nikah fasid dan batil adalah sama-sama tidak sah.23 Batalnya perkawinan menurut fiqih Islam antara lain disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu: pertama, karena tidak terpenuhi rukun perkawinan dan/atau karena tidak terpenuhi syarat perkawinan dan kedua, karena adanya sebab lain setelah perkawinan berlangsung, pembatalan dimaksud dikenal dengan istilah “fasakh”.

Fasakh berasal dari bahasa Arab, yang berarti membatalkan. Istilah batal dalam Islam sebenarnya dibedakan dalam dua pengertian, yaitu fasakh dan infisakh yang penggunaannya mempunyai makna berbeda. Dijelaskan dalam ensiklopedia Islam, istilah infisakh dipahami sebagai tindakan pembatalan akad tanpa ada keinginan atau pernyataan pembatalan akad dalam bentuk apapun, misalnya karena suatu peristiwa yang menyebab-kan akad tidak dapat diaplikasikan.24

Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa putusnya akad meliputi fasakh dan infisakh, hanya saja munculnya fasakh terkadang bersumber dari kehendak sendiri, keridhaan dan terkadang berasal dari putusan hakim, sedangkan infisakh muncul karena adanya peristiwa alamiah yang tidak memungkinkan berlangsungnya akad.25

Dihubungkan dengan istilah pembatalan perkawinan, maka istilah batal disini lebih dekat maknanya dengan istilah fasakh sebagaimana yang dijelaskan di atas, tetapi lebih lanjut Wahbah az-Zuhaili menyebutkan pandangan Hanafiyah, bahwa meninggalnya salah seorang dari dua orang yang ber-akad dapat menimbulkan terjadinya infisakh, sementara jumhur ulama tidak memandangnya sebagai infisakh,26 karena itu meninggalnya salah seorang dari pasangan suami isteri berdasarkan pandangan Hanafi dapatlah disebut sebagai infisakh dalam perkawinan.

Sebenarnya fasakh perkawinan menurut istilah syar’i adalah membatalkan akad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat antara suami isteri.27 Menurut Moh. Rifa’i, fasakh artinya rusak atau putus. Maksud fasakh ialah perceraian dengan merusak atau merombak hubungan nikah antara suami isteri. Perombakan ini dilakukan oleh hakim, dengan syarat-syarat dan sebab-sebab yang tertentu tanpa ucapan talak.28

Menurut Ali Hasabilah, seperti yang dikutip oleh Firdaweri, bahwa fasakh perkawinan ialah sesuatu yang merusak akad (perkawinan) dan dia tidak dinamakan talak.29 Mem-fasakh akad nikah berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami isteri.30 Fasakh itu terbagi kepada dua macam, yaitu: pertama, fasakh yang berkehendak kepada keputusan hakim, jika kondisi penyebab fasakh masih samar-samar dan kedua, fasakh yang tidak berkehendak kepada keputusan hakim, jika kondisi penyebab fasakh-nya jelas.31

Putusnya hubungan perkawinan dengan cara fasakh ini, dasar hukumnya dapat disebutkan antara lain:

  1. Dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, artinya: “Rasul membolehkan seorang wanita yang sesudah dia kawin baru mengetahui bahwa dia tidak sekufu, untuk memilih tetap meneruskan hubungan perkawinannya itu, atau apakah dia ingin di-fasakh-kan. Wanita itu memilih terus (tetap dalam perkawinan dengan suami yang lebih rendah derajatnya itu).”32

  2. Dari Ka’ab bin Zain, bahwa Rasulullah (pada suatu ketika) menikah dengan wanita dari Bani Ghaffar, maka sewaktu akan bergaul (bersetubuh) dan wanita itu telah berbaring di kainnya dan duduk di kasur, nampak oleh beliau “baros” (kulit putih) di lambungnya, maka beliau berpaling dari kasur, lalu bersabda: “Ambillah kainmu dan tutup kembali bajumu”. Dan Rasulullah tidak mengambil segala sesuatu yang diberikan oleh beliau kepada wanita itu. (HR. Ahmad dan Baihaqi).33

  3. Diriwayatkan oleh Daraqhutni, bahwa Umar mem-fasakh suatu perkawinan di masa dia jadi khalifah karena penyakit barshak (semacam penyakit menular) dan gila.34

Syaikh Kamil, mengatakan beberapa hal yang dapat membatalkan akad pernikahan (perkawinan) antara lain:35

        1. Jika isteri gila, menderita penyakit kusta atau sopak (belang).

        2. Jika setelah berlangsungnya akad nikah, baru diketahui bahwa wanita yang dinikahi itu ternyata saudara sepersusuan laki-laki yang menikahinya, maka pernikahan tersebut menjadi batal karenanya.

        3. Jika yang mengadakan akad nikah bagi calon pengantin masih di bawah umur (belum dewasa) bukanlah ayah atau kakeknya. Akan tetapi, jika telah dewasa, maka kedua belah pihak (suami isteri) berhak untuk memilih meneruskan kehidupan perkawinannya maupun mengakhirinya dan inilah yang disebut dengan khiyarul bulugh. Apabila keduanya memilih untuk mengakhiri kehidupan bersuami isteri, maka menjadi batal pernikahan tersebut.

        4. Jika suami masuk Islam sedangkan isterinya menolak dan tetap menjadi wanita musyrik, maka akad nikah yang dilakukan pada saat itu menjadi batal karenanya.

        5. Jika isteri memeluk Islam, sedangkan suaminya tetap kafir. Apabila kemudian keduanya mau memeluk Islam, maka akad nikahnya tetap sah.

        6. Jika si suami murtad, sedangkan isterinya masih tetap muslimah.

        7. Jika si isteri murtad, sedangkan suaminya masih tetap sebagai seorang muslim.

        8. Jika isteri disetubuhi oleh ayah atau kakeknya karena faktor ketidaksengajaan maupun dengan maksud menzinahinya.

        9. Jika kedua belah pihak saling berli’an.

        10. Jika keduanya bersama-sama murtad.

        11. Jika salah satunya meninggal dunia.

Sayyid Sabiq menggunakan istilah mem-fasakh akad nikah yang berarti membatal-kannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami isteri. Fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena hal lain yang datang kemudian dan dapat membatalkan kelangsungan perkawinan.36 Beliau menambahkan bahwa fasakh itu terbagi kepada dua macam, yaitu: pertama, fasakh yang berkehendak kepada keputusan hakim, jika kondisi penyebab fasakh masih samar-samar dan kedua, fasakh yang tidak berkehendak kepada keputusan hakim, jika kondisi penyebab fasakh-nya jelas.37

Berdasarkan pendapat Sayyid Sabiq tersebut, maka pembatalan perkawinan (fasakh) dapat dibedakan sebagai berikut:

  1. Dilihat dari sisi sebab pembatalannya, terdiri dari:

    1. Sebab yang ada pada saat perkawinan dilangsungkan, contohnya perkawinan dilangsungkan tidak memenuhi rukun dan/atau syarat perkawinan.

    2. Sebab yang ada setelah akad perkawinan berlangsung, contohnya setelah perkawinan berlangsung, salah satu dari suami atau isteri murtad.

  2. Dilihat dari kewenangan pembatalannya, terdiri dari:

  1. Pembatalan perkawinan melalui keputusan hakim, berarti suami isteri tidak dibolehkan membatalkannya tanpa ada keputusan hakim, hal ini dilakukan jika alasan yang dapat membatalkan perkawinan masih samar-samar, contohnya karena isteri masih belum memeluk agama Islam, sedangkan suaminya sudah. Ada kemungkinan, setelah perkara dibawa ke pengadilan, isterinya mau memeluk agama Islam.

  2. Pembatalan perkawinan yang tidak harus melalui keputusan hakim, berarti suami isteri dapat langsung membatalkannya tanpa harus menunggu keputusan hakim, hal ini dilakukan jika alasan yang membatalkan perkawinan sudah jelas, seperti karena terdapat halangan perkawinan di antara mereka disebabkan hubungan nasab atau sesusuan, berhubung perkawinan yang demikian adalah haram menurut fiqih Islam.

Memperhatikan beberapa hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan menurut ulama-ulama fiqih sebagaimana yang telah diuraikan di atas, terlihat adanya perbedaan dengan alasan pembatalan perkawinan yang diatur dalam UUP, misalnya dalam hal persyaratan yang bersifat formalitas, bahwa menurut UUP jika perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.38

Menurut syaria’t Islam, ketentuan demikian tidaklah merupakan syarat sah perka-winan, dengan kata lain sekalipun perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatatan perkawinan yang tidak berwenang, tetapi sepanjang rukun-rukun dan syarat-syarat menurut syar'i telah dipenuhi, maka perkawinan tersebut sah dan tidak dapat dibatalkan. Adanya perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum, karena menurut UUP, tidak terpenuhinya syarat formalitas, maka perkawinannya batal, sedangkan menurut syari’at Islam, perkawinannya sah.

Rousydy Lubis berpendapat, jika perkawinan telah memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan dalam syari’at Islam, maka perkawinan tersebut sah, berarti tidak ada alasan untuk membatalkannya, kecuali dikemudian hari ada hal-hal yang menghalangi maksud perkawinan. Walaupun pengadilan membatalkan perkawinan karena tidak memenuhi persyaratan formalitas, bukan berarti perkawinan yang telah berlangsung adalah haram hukumnya. Beliau memberikan penjelasan lebih lanjut, jika rukun dan syarat telah dipenuhi dan suami tidak pernah menjatuhkan talaq terhadap istrinya, sebaliknya isteri juga tidak mengajukan fasakh terhadap perkawinan itu, kemudian dibatalkan oleh pengadilan atas permintaan pihak lain, karena ada persyaratan dalam undang-undang yang tidak dipenuhi, maka kedua pasangan suami isteri tersebut masih dihalalkan melakukan hubungan suami isteri.39

Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Mahmud Aziz Siregar, bahwa yang menjadi ukuran utama terhadap sahnya perkawinan adalah dipenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat berdasarkan syari’at Islam, tetapi demi menjaga adanya kepastian hukum terhadap kelangsungan perkawinan, syarat-syarat formil yang ditetapkan dalam undang-undang, juga harus dipenuhi oleh masing-masing pihak, misalnya yang berhubungan dengan pencatatan perkawinan. Perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan formalitas, bukan berarti perkawinan yang tidak sah, namun beliau tidak memberikan pendapatnya tentang kehalalan hubungan kelamin suami isteri yang perkawinannya dibatalkan oleh pengadilan karena tidak terpenuhi persyaratan formalitas tersebut.40

Mengutip kedua pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa jika rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan yang ditetapkan dalam syari’at Islam telah dipenuhi, walaupun kemudian pengadilan membatalkannya, karena adanya tuntutan pihak lain dengan alasan tidak dipenuhinya persyaratan formalitas, maka pembatalan perkawinan itu tidak mengikat bagi suami isteri berdasarkan syariat Islam, hanya saja perkawinannya tidak lagi tercatat, dengan kata lain secara materil perkawinannya sah, tetapi secara formil bukan merupakan perkawinan yang tercatat. Dapat pula disimpulkan bahwa, pasangan suami isteri yang perkawinannya tersebut telah dibatalkan pengadilan, tetap saja dihalalkan untuk ber-hubungan kelamin (senggama).


Analisis Kasus

Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, pada tahun 1999 pernah membatalkan perkawinan seorang laki-laki yang berpoligami tanpa adanya izin pengadilan dan persetujuan isteri.41 Perkara tersebut tercatat dengan Nomor: 238/Pdt.G/1999/PA-Medan, yaitu antara OD (Pemohon) lawan TG (Termohon I), YN (Termohon II) dan Pemerintah Republik Indonesia cq. Menteri Agama cq. Kepala Kantor Departemen Agama Kotamadya Medan cq. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Kota (Termohon III), dengan duduk perkara sebagai berikut:

    1. Bahwa antara Pemohon dan Termohon I masih terikat perkawinan yang sah dengan Surat Nikah nomor 93/15/1065 tertanggal 9 Maret 1965.

    2. Bahwa Termohon I dan Termohon II telah melangsungkan pernikahan dengan Akta Nikah nomor 6/6/I/1985 tertanggal 2 April 1985 yang dikeluarkan oleh Termohon III.

    3. Bahwa berlangsungnya pernikahan antara Termohon I dan Termohon II, tanpa adanya izin baik secara lisan maupun tulisan dari Pemohon, demikian juga izin dari Pengadilan Agama Medan.

    4. Bahwa saat berlangsungnya pernikahan, Termohon II berstatus sebagai gadis dan berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil yang harus mendapatkan izin atasannya menjadi isteri kedua, ketiga dan keempat.

Berdasarkan duduk perkara tersebut, selanjutnya pemohon mengajukan permohonan sebagai berikut:

  1. Menyatakan Akta Nikah nomor 6/6/I/1985 tertanggal 2 April 1985 yang dikeluarkan oleh Termohon III tidak sah dan/atau cacat hukum.

  2. Membatalkan pernikahan antara Termohon I dan Termohon II, karena berdasarkan akta nikah yang tidak sah dan/atau cacat hukum.

Setelah melalui proses persidangan, hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, yang terdiri dari Sholeh (Hakim Ketua) serta Dahrim Syahman Siregar dan Gazali (masing-masing sebagai Hakim Anggota) telah membuat keputusan sebagai berikut:

  1. Mengabulkan permohonan Pemohon.

  2. Menyatakan Akta Nikah nomor 6/6/I/1985 tertanggal 2 April 1985 yang dikeluarkan oleh Termohon III tidak sah dan/atau cacat hukum.

  3. Membatalkan pernikahan antara Termohon I dan Termohon II.

Memperhatikan duduk perkara tersebut di atas, perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II terdapat suatu kecacatan menurut UUP, karena perkawinan mereka tanpa persetujuan isteri pertama (Pemohon) dan Termohon I juga tidak pernah sebelumnya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mendapatkan izin ber-poligami, sedangkan antara Termohon I dengan Pemohon masih terikat tali perkawinan yang sah. Kenyataan inilah yang dijadikan dasar gugatan pembatalan perkawinan oleh Pemohon.

Kecacatan lain yang terdapat dalam perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II, yang juga dijadikan dasar gugatan Pemohon, bahwa pada saat perkawinan mereka dilangsungkan, Termohon II adalah berstatus sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, bahwa seorang wanita yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, apabila akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari seorang laki-laki yang bukan berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, maka harus memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat atasannya, sementara izin yang dimaksudkan tersebut tidak pernah diperoleh Termohon II. Bahkan setelah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dirubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, seorang wanita yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat.42

Adanya kecacatan dalam perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II, jelas mengabaikan syarat untuk sahnya perkawinan sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan. Pemohon mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan tersebut dengan dasar ketentuan yang terdapat pada Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1) a dan Pasal 24 UUP, Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Berdasarkan ketentuan-ketentuan ini, maka:

      1. Termohon I yang akan beristeri lebih dari seorang (berpoligami) wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dari pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

      2. Permohonan untuk mendapatkan izin berpoligami harus ada persetujuan terlebih dahulu dari isteri pertamanya (Pemohon).

      3. Termohon I dengan Pemohon masih dalam ikatan tali perkawinan, oleh sebab itu Pemohon mempunyai hak untuk memintakan pembatalan perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II.

      4. Termohon II adalah berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, oleh sebab itu harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pejabat atasannya untuk menjadi isteri kedua Termohon I dan bahkan tidak dibenarkan menjadi isteri kedua dari Termohon I.

Kasus ini menunjukkan adanya kecacatan perkawinan hanyalah dalam hal tidak terpenuhinya syarat menurut undang-undang, sedangkan syarat-syarat lain menurut syari’at Islam sudah dipenuhi oleh Termohon I dan Termohon II, dengan kata lain perkawinan mereka sah menurut syar'i, tetapi tidak menurut undang-undang. Syari’at Islam tidak ada menentukan bahwa izin pengadilan maupun persetujuan isteri merupakan syarat sah berpoligami, demikian pula izin pejabat atasan bagi wanita yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, jika ia akan menjadi isteri dari seorang laki-laki yang telah mempunyai isteri, bukanlah merupakan syarat sah perkawinan.

Ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, yang dijadikan dasar gugatan oleh Pemohon sebenarnya tidak tepat, karena baik UUP sendiri maupun Peraturan Pemerintah tersebut, tidak ada menegaskan bahwa jika seorang wanita yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil tidak mendapat izin untuk kawin dengan seorang laki-laki yang telah mempunyai isteri maka perkawinan itu dapat dibatalkan. Demikian pula dengan ketentuan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, juga tidaklah tepat dijadikan dasar gugatannya, karena perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II dilaksanakan pada tahun 1985 (artinya sebelum Peraturan Pemerintah ini diberlakukan), sesuai dengan asas bahwa undang-undang tidak boleh berlaku surut.

Satu-satunya yang dapat dijadikan dasar gugatan untuk membatalkan perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II, sebenarnya hanya karena tidak adanya persetujuan dari Pemohon dan izin berpoligami dari pengadilan, tetapi jika dipedomani pendapat para ulama fiqih, maka tidak ada alasan untuk membatalkan perkawinan tersebut, berhubung dalam syariat Islam bahwa persetujuan isteri dan izin berpoligami dari pengadilan, bukan merupakan syarat perkawinan.

Perbedaan antara UUP dengan syari’at Islam tentang alasan pembatalan perkawinan tersebut, menimbulkan konsekuensi yang berbeda pula. Pertama, setelah perkawinan Termohon I dengan Termohon II dibatalkan oleh Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, maka mereka tidaklah tercatat lagi sebagai pasangan suami isteri. Kedua, berhubung akad perkawinan itu sah menurut syari’at Islam, maka setelah perkawinan mereka dibatalkan, bukan berarti mereka tidak dihalalkan melakukan senggama.

Alasan pembatalan perkawinan karena tidak terpenuhinya persyaratan-persyaratan formalitas, dapat menimbulkan berbagai persoalan lain terhadap perkawinan itu sendiri, karena persyaratan tersebut bukanlah merupakan syarat sah perkawinan menurut syari’at Islam. Batalnya perkawinan dengan alasan demikian bukanlah berarti mengharamkan hubungan kelamin antara pasangan suami isteri, melainkan hanya menimbulkan suatu konsekuensi hukum bahwa perkawinan yang telah dibatalkan tidak lagi merupakan perkawinan yang tercatat.

Ketentuan tentang tidak terpenuhinya persyaratan yang bersifat formalitas yang merupakan salah satu alasan batalnya perkawinan sebagaimana diatur dalam UUP, menjadi tidak efektif jika setelah perkawinan dibatalkan, ternyata pasangan suami isteri masih dihalalkan melakukan senggama. Ketidakefektifan peraturan ini dapat menimbulkan akibat lainnya, terutama dalam hal penentuan status hukum anak yang dilahirkan setelah perkawinan orang tuanya dibatalkan.

Ada kemungkinan, setelah perkawinan dibatalkan oleh pengadilan, pasangan suami isteri tersebut tetap saja hidup sebagaimana layaknya pasangan suami isteri karena perkawinannya sah menurut syar'i. Selanjutnya dari perkawinan yang telah dibatalkan lahir anak, persoalan berikutnya adalah berhubungan dengan penentuan nasab dan hak-haknya terhadap harta peninggalan (warisan).


Penutup

Terdapat perbedaan antara UUP dengan syari’at Islam dalam hal pembatalan perkawinan. Perbedaan tersebut bukan sekedar untuk menentukan alasan pembatalan perkawinannya, melainkan termasuk untuk menentukan syarat-syarat agar perkawinan itu dapat dianggap sebagai perkawinan yang sah menurut hukum. Ada syarat perkawinan yang terdapat dalam undang-undang, tetapi syarat tersebut tidak termasuk syarat sah perkawinan menurut syar’i, tetapi jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka perkawinan dapat dibatalkan.

Ketentuan-ketentuan tentang pembatalan perkawinan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, jelas tidak dapat diberlakukan secara efektif, mengingat adanya perbedaan untuk menentukan syarat sah perkawinan maupun alasan pembatalannya, sementara ketentuan tersebut membawa akibat lebih jauh lagi bagi kelangsungan kehidupan rumah tangga, khususnya yang berhubungan dengan masalah per-senggama-an, keturunan maupun dalam hal warisan.

Perbedaan-perbedaan yang ada antara UUP dengan syari’at Islam mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum terhadap aturan pembatalan perkawinan itu sendiri, sehingga memerlukan pembahasan lebih lanjut yang pada akhirnya dapat terwujud hukum yang menjunjung nilai-nilai keadilan dan mampu memberikan jaminan untuk terciptanya kepastian hukum.


Daftar Pustaka

Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan., 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta.

Az-Zuhaili, Wahbah., 1984. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus.

Chaudhory, Muhammad Sharif., 2005. Hak-hak Wanita dalam Islam, Penterjemah Ahmad Shihabul Millah, Mujahid Press, Bandung.

Lewis, B., et.al., 1965. The Encyclopaedia of Islam, E.J. Brill, Leiden.

Mahmud Yunus., 1973. Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta.

Martiman Prodjohamidjodjo., 2002. Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta.

Mohd. Idris Ramulyo., 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta.

Nashih’ulwan, Abdullah., 1987. Pengantin Islam, Adab Meminang dan Walimah Menurut Al Quran & Al Sunnah, Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh, Al-Ishlahy Press, Jakarta.

Neng Djubaedah, et.al., 2005. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Hecca Publishing, Jakarta.

R. Abdul Djamali., 1997. Hukum Islam, Mandar Maju, Bandung.

R. Subekti., 1993. Pokok Pokok Hukum Perdata, Irtermasa, Jakarta.

Sabiq, Sayyid., 1998. Fikih Sunnah 8, Alih Bahasa Moh. Thalib, Cetakan Keempat-belas, Alma’arif, Bandung.

Sayuti Thalib., 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cetakan Kelima, UI-Press, Jakarta.

Soemiyati., 1982. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta.

Uwaidah, Kamil Muhammad., 1998. Fiqih Wanita, Penerjemah M. Abdul Ghofar E.M., Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.

W. J. S. Poerwadarminta., 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs., 1986. Tafsir Qur’an, Cetakan Kedua-belas, Widjaya, Jakarta.

1 Dosen Kopertis Wilayah I dpk pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan, HP. 081320782911

2 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hlm. 453.

3 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hlm. 468.

4 Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 38.

5 Sidi Gazalba dalam Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 44.

6 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 10.

7 Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit., hlm. 60.

8 Ibid.

9 R. Abdul Djamali, Hukum Islam, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm. 83.

10 Ibid., hlm. 87.

11 Ibid., hlm. 83 – 92.

12 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1998, hlm. 71.

13 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cetakan Kelima, UI-Press, Jakarta, 1986, hlm. 63 – 70.

14 Abdullah Nashih’ulwan, Pengantin Islam, Adab Meminang dan Walimah Menurut Al Quran & Al Sunnah, Penterjemah Aunur Rafiq Shaleh, Al-Ishlahy Press, Jakarta, 1987, hlm. 69.

15 Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qur’an, Cetakan Kedua-belas, Widjaya, Jakarta, 1986, hlm. 107.

16 Pasal 2 ayat (2) UUP menegaskan, bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

17 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946, awalnya hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, tetapi sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, maka undang-undang tersebut ditetapkan berlaku untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura.

18 Sejak berlakunya PP No. 45 Tahun 1990, maka seorang wanita yang berstatus PNS tidak diperkenankan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari seorang laki-laki baik yang berstatus sebagai PNS maupun bukan PNS, lihat Pasal 1 PP No. 45 Tahun 1990.

19 R. Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1993, hlm. 136.

20 Ibid., hlm. 137.

21 Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2002, hlm. 25.

22 Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) huruf b dan ayat (2) PP No. 9/1975, melaksanakan perkawinan di muka pegawai pencatat yang tidak berwenang, merupakan tindak pidana pelanggaran.

23 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit., hlm. 98.

24 B. Lewis, et.al., The Encyclopaedia of Islam, E.J. Brill, Leiden, 1965, hlm. 826.

25 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, 1984, hlm. 3150.

26 Ibid., hlm. 3152.

27 Firdaweri, Op.Cit., hlm. 4.

28 Moh. Rifa’i, Op.Cit., hlm. 490.

29 Firdaweri, Op.Cit., hlm. 52.

30 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, Alih Bahasa Moh. Thalib, Cetakan Keempatbelas, Al-ma’arif, Bandung, 1998, hlm. 124.

31 Ibid., hlm. 125-126.

32 Sayuti Thalib, Op.Cit., hlm. 117. Lihat juga Neng Djubaedah, et.al., Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Hecca Publishing, Jakarta, 2005, hlm. 151.

33 Moh. Rifa’i, Op.Cit., hlm. 491.

34 Loc.Cit.

35 Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Penterjemah M. Abdul Ghofar E.M., Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1998, hlm. 433-434.

36 Loc.Cit.

37 Ibid., hlm. 125-126.

38 Lihat Pasal 26 ayat (1) UUP.

39 Hasil wawancara pada tanggal 10 Januari 2004 di Medan untuk melengkapi data dalam rangka penyelesaian tulisan ini.

40 Hasil wawancara pada tanggal 14 Januari 2004 di Medan untuk melengkapi data dalam rangka penyelesaian tulisan ini.

41 Data diperoleh dari Baharin Batubara (Kasubkepan Pengadilan Agama Kelas I-A Medan).

42 Lihat Pasal 1 angka 2, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.

Tidak ada komentar: